Lensakaltim.com (Kutim) – Kurun waktu dua tahun terakhir, Kabupaten Kutai Timur (Kutim) mendapat guyuran anggaran yang cukup fantastis. Anggaran bagi hasil royalti sektor pertambangan batu bara dan migas serta Perkebunan, masih menjadi sumber utama pembiyaan pembangunan daerah.
Tercatat sejak tahun lalu, Kabupaten yang terdiri dari 18 kecamatan ini terus mengalami peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dimana tahun 2023, APBD Kutim menembus angka Rp 9,7 triliun sedangkan di tahun 2024 ini, APBN murninya sudah mencapai Rp 9,1 triliun dan di proyeksikan anggaran tersebut bisa bertambah di APBD perubahan.
Namun, dibalik besarnya anggaran yang di miliki daerah yang memiliki slogan “Tuah Bumi Untung Benua”, menyisakan persoalan yang hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah yang belum bisa di atasi, yakni terkait lemahnya penyerapan anggaran yang di lakukan oleh pemerintah, sehingga berdampak adanya Sisa Lebih Anggaran (SiLPA) yang tidak bisa di manfaatkan untuk pembangunan.
Diketahui, sejak tahun 2022 lalu, pada pelaksanaan Anggaran Pemkab Kutim mengalami SiLPA sebesar Rp 1,5 triliun, sedangkan di tahun 2023 kembali mengalami SiLPA mencapai Rp, 1, 7 triliun. Hal ini lah yang menjadi catatan DPRD Kutim, dan meminta agar pemerintah segera melakukan evaluasi dalam setiap proses pelaksanaan pembangunan yang di lakasnakan.
“Dan ini akan terulang kembali di tahun 2024, karena sampai saat ini pekerjaan yang menggunakan anggaran murni juga belum semua berjalan, padahal ini sudah mau masuk pertengahan tahun,” tegas Yan.
Namun, disisi lain, dirinya juga tidak sepakat apabila rendahnya proses penyerapan anggaran yang masih kecil ini, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Mengingat, selama ini, alokasi anggaran yang berasal dari dana bagi hasil pemerintah pusat ini, di berikan saat proses pembahasan anggaran perubahan.
“Kita harus belajar bersama atas kejadian ini. Jangan sampai terus berulang dan harus segera mencari solusi untuk mengantisipasinya, dan harus secepatnya pemerintah mengambil langkah tegas melihat persoalan ini. Kita tidak ingin ada silpa karena tentunya berdampak terhadap kurangnya pembangunan” tutup Yan. (adv/rkb/lk01)